Jumat, 10 April 2009

Kantauan Telanjang di Bawah Rembulan

Kamis, 09 April 2009

Rembulan di Pucuk Bambu

Ah kamu!


Malam sudah larut. Mata masih susah terpejam. Aku bangkit lagi dari temat tidurku. Capek rasanya. Kutekan lagi tombol untuk menghidupkan komputer ku. Ku bolak-balik urutan file dalam folder yang biasa kubuka. Tidak kutemukan sesuatu yang menarik. Tiba-tiba, kulihat sebuah folder baru. Ternyata isinya foto-foto sekelompok mahasiswi yang menamakan angkatan.

Kupandangi satu-satu gambar dalam pose lucu itu. Aneh tak ada yang berkesan. Tapi aku tak punya pilihan. Berkali-kali aku bolak-balik mengurut satu per satu gambar-gambar itu. Tiba-tiba kulihat satu foto yang menarik. Seorang gadis, agak aneh posenya. Yang lain pada menghadap ke depan, di sendiri yang berpose miring. Wajahnya yang orientalis mengisyaratkan anak ini bukan produk lokal

Tidak terasa waktu sudah menjelang pagi. Bergegas aku mematikan komputer dan menuju tempat tidur ku. Sekejap aku terlelap.

Pagi, kubuka tirai jendela. Terkejut aku, matahari sudah tinggi. Padahal pagi ini aku ada kuliah. Ah sangat tidak menyenangkan. Seperti biasa mandi tergesa-gesa. Sarapan pagi ini terasa tidak terlalu menyenangkan. Mie goreng hangat ini tidak sempat kunikmati rasanya. Ku minum tehku sambil berjalan menuju tempat sepatu. Jam sudah menunjukan pukul 8.00 Ini waktunya kuliah sudah dimulai.

Dengan sedikit berlari, kusandang back pack berisi laptopku. Ku buka pintu garasi dan dan ku hidupkan mobil tua buatan jepang. Lima Begitu mobil sudah di luar garasi, perlahan mulai ku kendarai menuju kampus. Tepat 10 menit kemudian, ku lihat mahasiswa sudah sudah mulai bergerombol di depan pintu. Mereka sudah gusar menunggu  dan lebih betah ngorol di luar kelas dan dari pada bersiap untuk belajar.

Begitu melihat dosennya datang, mahasiswa langsung berlarian masuk ke dalam kelas. Aku pun turut berlari masuk kelas. Sesekali kutatap satu persatu mahasiswa . Hampir semuanya sudah menyiapkan buku terbuka dan pulpen. Seolah-olah tidak pernah ada kejadian apa-apa.

Ah kamu. Tiba-tiba tatapan ku tertumbuk pada mahasiswi yang kulihat fotonya dalam kumputerku tadi malam. Ya aku yakin ini orangnya. Sejenak kami terpana setelah itu dia menunduk malu. Aku tak ingin membuatnya merasah risih. Kuteruskan menatap yang lain sambil mencoba bertanya siapa-siapa yang tidak hadir hari ini. Sambil sesekali kulirik dia yang masih merasa kebingungan dengan sikap ku.

Diskusi sepanjang kuliah hari itu merupakan kesempatanku untuk berkenalan lewat fikirannya. Seperti dugaanku, dia cerdas dan terbuka. Sikap itu yang tidak mudah dan tidak banyak dijumpai di kalangan mahasiswa.

The Highlander, January 08.

Aku Sayang Kamu


Aku cinta kamu. Seperti pecandu cinta sabu

Aku rindu kamu. Seperti penjudi rindu dadu

Aku tahu cintaku tabu

Tapi aku tak  pedulikan itu

Untuk mu akan kupertaruhkan hidupku.


Sudah lama kutunggu, aku tahu ini akan ulang tahun mu. Selamat meninggalkan teenager, tanpa sesuatu yang buruk terjadi. Berarti satu tahap terlewati menuju kamu yang lebih dewasa.

Aku sengaja mengirimkan SMS pada dini hari. Aku cuma berharap, aku yang pertama mengirimkan itu. Yah memang sekedar sebuah ucapan, tidak bisa lebih dari itu. Jangan tanya kenapa, karena dihatiku sebenarnya ada sebuah istana mimpi yang ingin kuhadiahkan. Tapi waktu fajar menyadarkanku bahwa kamu hanyalah sebuah jiwa. Paling tidak begitulah bagiku. Ada tembok waktu yang sangat tebal memisahkan kita.

Satu-satunya tautan hati kita cuma seutas kasih sayang. Itu pun kita berusaha pura-pura mengingkarinya. Satu-satunya yang paling berharga yang dapat kuberikan kepada mu cuma ucapan sayang. Kita tidak bisa bersatu merayakannya, bahkan berjabat tangan pun tidak. Maafkan aku. 

Tadinya memang aku mengharapkan ada sebuah senyuman kerinduan. Ah tapi aku tersadar, itu hanya sebuah harapan, hayalan, ilusi, dan mimpi yang kesiangan. Tapi biarlah, aku tidak mau kecewa. Aku kan hanya seorang hamba yang sudah diberi perasaan betapa nikmatnya menyayangimu. Itu saja sebenarnya sudah sebuah anugerah besar. Ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku, sebuah kepercayaan di penghujung hidupku.

Semoga saja apa yang kulakukan semua ini bisa memberimu sedikit keyakinan bahwa dirimu adalah sosok hebat yang kurindukan. Jangan kuatir aku cukup sadar, bahwa menyayangimu tidak berarti bisa memilikimu. Sudah bisa membawamu singgah di hatiku saja sudah sebuah kemenangan besar. Keberhasilan meruntuhkan kebekuan hatiku selama lebih dari dua dekade terakhir. 

Bagiku memang kamu seorang bidadari. Semangatmu, kekerasan hatimu, komitmenmu, mungkin juga kejujuranmu. Itu semua membuatmu jauh lebih cantik dari penampilan fisikmu. Kamu juga yang membakar semangatku yang tinggal sepotong. Langkahku yang sudah goyah, jiwaku yang sudah rapuh, kamu lah obatnya.

Jika ada yang salah diantara kita, itu  cuma satu, yaitu rezim waktu. Dia yang memisahkan kita. Tapi semua itu tidak berarti apa-apa, karena memang jiwa kita sudah bersatu.

The Highlander, April, 4 2009.

Aku Ga Mau !


Kedewasaan seseorang tidak ditunjukan oleh usianya, tetapi dari kemampuan mengontrol emosinya.

Kemarin salah satu kolegaku bertandang. Alasannya ingin berbagi kenangan saja. Makin lama kami bicara, kini jelas maksudnya.  Ini tampaknya soal hati.

Semuanya selesai begitu saja. Namun hamper setengah hari kuhabiskan untuk berfikir. Bagaimna menyelesaikan persoalnnya. Di satu sisi kolega ini teman baikku. Disisi lain adalah orang yang selama ini menjadi semangatku. Satu sore kuhabiskan untuk mengumpulkan informasi. Kutanya sana-sini tentang apa yang diinginkan kolegaku. Akhirnya aku berhenti sampai suatu kesimpulan.

Malam sudah hampir larut, kutelephon dia. Aku coba bicaradengan sangat hati-hati, takut kalau menyinggug perasaannya. Aku juga bicara setelah dia meyakinkan tidak akan terganggu karena akan memikirkan pembicaraan kami.

Singkatnya pembicaaran kami, “Kamu tahukan saya sangat sayang dengan kamu”, kataku. Dia tidak menjawab, memang biasa seperti itu. Dia tahu itu, hanya dia memang tidak berani menjanjikan apa-apa dan memang tidak bisa apa-apa. “Ada apa sih” jawabnya. Kujelaskan panjang lebar masalahnya. Aku juga mencoba untuk meyakinkannya,”Saya tidak peduli, saya cuma sangat sayang dengan kamu, kalau memang apa yang diminta oleh kolegaku itu memang baik dan dapat membahagiakanmu. Saya bisa mengerti dan menerima kamu pindah ke bidang lainnya”, kataku. “Aaa.. kenapa begitu, aku ga mau”, jawabnya. “Aku memang ga tertarik”, katanya lagi. “Ok sayang, kalau begitu kita berjuang bersama ya”, itu kalimat yang kusampaikan. “Ok, ga usah ditanyakan lagi ya”pintanya dengan suaranya yang manja. Kami menutup pembicaraan dengan perasaan sedikit lega.

Keesokan harinya dia menjumpaiku, dia bercerita bahwa baru saja dia merasa dipressure dan diintimidasi oleh kolegaku untuk berpindah ke bidang tersebut. Tapi dia tetap menolaknya. Kusarankan untuk sedikit bersabar dan menghadapinya dengan rendah hati.

Kalau kulihat dari wajahnya dia tetap tegar dan hampir tidak sama sekali bergeming. Aku memang kagum dengan dia karena sikapnya yang sangat dewasa dibandingkan dengan usianya. Hampir dua dekade aku disini, belum pernah sebelumnya aku menemukan orang setegar dia.

The Highlander, April 09.

 

 

 

Minggu, 05 April 2009

Kantauan Telanjang di Bawah Rembulan


Hari sudah menjelang subuh, pembicaraan terus mengalir tak ada tanda akan berhenti. Sama dengan berisiknya suara air yang deras bergerak merangkak di sungai Amandit. Cahaya bulan berkilau-kilauan disela liukan-liukan air di bawah jembatan gantung. Bukit kapur Kantauan berdiri kokoh menyimpan sejuta misteri. Kapur berwarna putih keemasan jelas terlihat terkupas dan tampak keras di dinding yang terjal. Ini salah satu saksi bisu yang mengungkap penderitaan ibunya, sijanda muda yang bernama pegunungan Meratus. 

Pegunungan Meratus diberi gelar sebagai perawan yang tertidur lelap. Karena potensi sumber  alamnya  yang kaya belum digali secara optimal untuk memberikan makna bagi masyarakat di sekitarnya. Itu istilah yang dilontarkan hampir dua dekade yang lalu. Tapi kini perawan itu telah menjadi janda yang porak poranda karena menderita akibat diperkosa disini dan disana. Lihatlah wajah meratus yang terkelupas akibat penebangan hutan baik yang disisakan oleh HPH yang kini sudah minggat dari sana, atau pun karena penebangan liar yang mencuri tanpa legalisasi. Tak ketinggalan dari perladangan berpindah yang selama ini selalu dibela kawan-kawan yang mengatas namakan dirinya sebagai pencinta lingkungan. Semuanya sama saja menjadi penyebab Meratus semakin merana. Perawan itu kini menjadi janda muda yang bopeng- disana-sini karena kubangan sisa penggalian batubara.

Wajah sijanda yang merana penuh luka, tidak lagi berwarna hijau segar. Tampak tambalan disana sini, ada ladang padi, ada ilalang, ada kebun karet, ada semak belukar yang bernama katuan anum, yang pasti hanya tinggal sedikit katuan tuha (hutan besar) yang dibiarkan menclok di puncak-puncak bukit. Hutan yang dipertahankan di atas bukit ini hanya tertinggal sedikit. Itu pun masih di tebang satu atau dua pohon yang besar. Katanya untuk rumah tinggal sendiri alias tidak dijual. Tapi dengan bertambahnya penduduk yang kini bermukim menuju Meratus, jumlah pohon pun terus berkurang. Bunyi gergaji mesin pun terdengar setiap hari sayup-sayup dari kedalaman hutan. Siapakah mereka?

Apakah benar orang Dayak Meratus masih cinta hutan? Benarkah mereka tidak mendengar bunyi mesin potong itu? Sudah tertutupkah mata, telinga dan hati mereka? Atau mereka juga juga terlibat dalam konspirasi kultural yang toleran terhadap kerusakan hutan. Jawabanya sudah pasti akan menjadi perdebatan panjang dan hangat. Yang pasti lebih banyak orang yang menolak kecurigaan tersebut atau kalau ingin dibuktikan pasti jadi pekerjaan yang panjang. Bahkan menjadi silang sengketa bisa berujung perselisihan. Karena lebih mudah mengeluarkan pernyataan pembelaan diri dari pada mencermati fakta yang ada.

Kami duduk di tepi sungai Amandit menatapi Kantauan yang tinggi. Lekukan bukit seakan membentuk bibir mungil yang tersenyum. Mentertawakan kekonyolan kami yang masih mencari-cari alasan untuk membela diri dan menciptakan pembenaran-pembenaran untuk menjelaskan penderitaan Meratus. Mungkin juga senyum sinis  yang menyiratkan rasa sakit hatinya kepada kami, calon-calon ilmuwan yang saat ini berkumpul untuk menyusun argumentasi, atas nama pembenaran ilmu mencoba mentolelir kerusakan yang terus terjadi.

Malam semakin larut angin dingin mulai menusuk tulang, wajah Kantauan semakin cantik menawan. Rembulan semakin jalang menggoda kegelisahan para rimbawan. Tuhan, mengapa begitu sukar mencari jawaban nilai-nilai yang hilang (atau sengaja dihilangkan?) atas nama pembenaran yang masih samar-samar. Kehidupan makin larut dalam dalam gemuruh mimpi insan yang telah terlelap. Tapi bintang, rembulan, angin, air dan tanah masih ribut bersaksi dalam canda yang bersahabat. Mereka semua memutuskan bahkan kita semua bersalah telah membiarkan Meratus dalam kesendirian berjuang menghadapi sakratul maut. Mereka juga bilang kita semua kejam karena menelantarkan Meratus  yang diamanahkan kepada kita untuk dijaga.

Tarian rembulan yang dikelilingi tebaran bintang-bintang yang terus  berputar-putar dan menghilang dikejauhan. Kokok ayam jantan menyadarkan Kantauan, dirinya sudah telanjang kelelahan dalam tarian kesaksian. Wajahnya pucat terbalut kabut asap. Kantauan terkejut, takut dan gemetar ketika mentari mulai bersinar dicakrawala timur. Artinya para penebang kayu, pemburu burung dan rusa, pemburu anggrek dan tanaman, sudah waktunya untuk datang dan merampoknya. Semuanya menjadi terlambat, dan kemudian diam, kelam. Yang tersisa cuma sebuah keputus-asaan. (Kgroup, 2006)