Minggu, 05 April 2009

Kantauan Telanjang di Bawah Rembulan


Hari sudah menjelang subuh, pembicaraan terus mengalir tak ada tanda akan berhenti. Sama dengan berisiknya suara air yang deras bergerak merangkak di sungai Amandit. Cahaya bulan berkilau-kilauan disela liukan-liukan air di bawah jembatan gantung. Bukit kapur Kantauan berdiri kokoh menyimpan sejuta misteri. Kapur berwarna putih keemasan jelas terlihat terkupas dan tampak keras di dinding yang terjal. Ini salah satu saksi bisu yang mengungkap penderitaan ibunya, sijanda muda yang bernama pegunungan Meratus. 

Pegunungan Meratus diberi gelar sebagai perawan yang tertidur lelap. Karena potensi sumber  alamnya  yang kaya belum digali secara optimal untuk memberikan makna bagi masyarakat di sekitarnya. Itu istilah yang dilontarkan hampir dua dekade yang lalu. Tapi kini perawan itu telah menjadi janda yang porak poranda karena menderita akibat diperkosa disini dan disana. Lihatlah wajah meratus yang terkelupas akibat penebangan hutan baik yang disisakan oleh HPH yang kini sudah minggat dari sana, atau pun karena penebangan liar yang mencuri tanpa legalisasi. Tak ketinggalan dari perladangan berpindah yang selama ini selalu dibela kawan-kawan yang mengatas namakan dirinya sebagai pencinta lingkungan. Semuanya sama saja menjadi penyebab Meratus semakin merana. Perawan itu kini menjadi janda muda yang bopeng- disana-sini karena kubangan sisa penggalian batubara.

Wajah sijanda yang merana penuh luka, tidak lagi berwarna hijau segar. Tampak tambalan disana sini, ada ladang padi, ada ilalang, ada kebun karet, ada semak belukar yang bernama katuan anum, yang pasti hanya tinggal sedikit katuan tuha (hutan besar) yang dibiarkan menclok di puncak-puncak bukit. Hutan yang dipertahankan di atas bukit ini hanya tertinggal sedikit. Itu pun masih di tebang satu atau dua pohon yang besar. Katanya untuk rumah tinggal sendiri alias tidak dijual. Tapi dengan bertambahnya penduduk yang kini bermukim menuju Meratus, jumlah pohon pun terus berkurang. Bunyi gergaji mesin pun terdengar setiap hari sayup-sayup dari kedalaman hutan. Siapakah mereka?

Apakah benar orang Dayak Meratus masih cinta hutan? Benarkah mereka tidak mendengar bunyi mesin potong itu? Sudah tertutupkah mata, telinga dan hati mereka? Atau mereka juga juga terlibat dalam konspirasi kultural yang toleran terhadap kerusakan hutan. Jawabanya sudah pasti akan menjadi perdebatan panjang dan hangat. Yang pasti lebih banyak orang yang menolak kecurigaan tersebut atau kalau ingin dibuktikan pasti jadi pekerjaan yang panjang. Bahkan menjadi silang sengketa bisa berujung perselisihan. Karena lebih mudah mengeluarkan pernyataan pembelaan diri dari pada mencermati fakta yang ada.

Kami duduk di tepi sungai Amandit menatapi Kantauan yang tinggi. Lekukan bukit seakan membentuk bibir mungil yang tersenyum. Mentertawakan kekonyolan kami yang masih mencari-cari alasan untuk membela diri dan menciptakan pembenaran-pembenaran untuk menjelaskan penderitaan Meratus. Mungkin juga senyum sinis  yang menyiratkan rasa sakit hatinya kepada kami, calon-calon ilmuwan yang saat ini berkumpul untuk menyusun argumentasi, atas nama pembenaran ilmu mencoba mentolelir kerusakan yang terus terjadi.

Malam semakin larut angin dingin mulai menusuk tulang, wajah Kantauan semakin cantik menawan. Rembulan semakin jalang menggoda kegelisahan para rimbawan. Tuhan, mengapa begitu sukar mencari jawaban nilai-nilai yang hilang (atau sengaja dihilangkan?) atas nama pembenaran yang masih samar-samar. Kehidupan makin larut dalam dalam gemuruh mimpi insan yang telah terlelap. Tapi bintang, rembulan, angin, air dan tanah masih ribut bersaksi dalam canda yang bersahabat. Mereka semua memutuskan bahkan kita semua bersalah telah membiarkan Meratus dalam kesendirian berjuang menghadapi sakratul maut. Mereka juga bilang kita semua kejam karena menelantarkan Meratus  yang diamanahkan kepada kita untuk dijaga.

Tarian rembulan yang dikelilingi tebaran bintang-bintang yang terus  berputar-putar dan menghilang dikejauhan. Kokok ayam jantan menyadarkan Kantauan, dirinya sudah telanjang kelelahan dalam tarian kesaksian. Wajahnya pucat terbalut kabut asap. Kantauan terkejut, takut dan gemetar ketika mentari mulai bersinar dicakrawala timur. Artinya para penebang kayu, pemburu burung dan rusa, pemburu anggrek dan tanaman, sudah waktunya untuk datang dan merampoknya. Semuanya menjadi terlambat, dan kemudian diam, kelam. Yang tersisa cuma sebuah keputus-asaan. (Kgroup, 2006)

0 komentar:

Posting Komentar